Cirebon, (MaI.Com) - Euforia dukungan kepada Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai Capres-Cawapres 2018-2024, terus menggelinding, setelah bermunculan di sejumlah Kota di Jawa Barat, seperti Bandung, Purwakata, Bogor dan Kota Lainnya, kini Warga Kota Cirebon yang tergabung dalam Bala Dewa menyatakan dukungan secara bulat kepada Pasangan Nasionalis dan Religius ini.
Relawan Baladewa yang sebagian besar kaum mileneal ini, menyatakan dukungan pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin di Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Rabu (19/9), malam.
"Karena sosok Jokowidod sejauh ini sudah merealisasilan apa yang menjadi aspirasi masyarakat, dan melakukan pembangunan secara merata diseluruh Indonesia, sementara sosok KH Ma'ruf Amin, merupakan Sosok Kiayi sepuh yang bijaksana dan diterima semua golongan Umat Islam dan Agama Lainnya", tegas Ketua Komunitas Bala E Dewa, Tunggal Dewananto, Rabu (19/9), malam.
Dewantono mengatakan selama ini pemuda di wilayahnya selalu mendukung program-program pemerintahan Jokowi. Dia memuji kinerja Jokowi.
Jokowi dinilai merupakan sosok yang dekat dengan rakyat.
Dewantono berjanji, akan segera me sosialisasikan kesuksesan pemerintah yang selama ini telah dirasakan manfatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
“Kami akan sosialisasikan program beliau kepada masyarakat,†kata dia.
Dewanto menambahkan, Gerakan ini akan terus dilakukan hingga tuntas dan berhasil meloloskan Jokowi kembali memimpin Indonesia. Dia juga menilai program pemenangan ini tidak hanya menyasar kelompok tertentu saja, tapi seluruh elemen masyarakat akan tersentuh.
“Jokowi milik rakyat, jadi dari atas sampai yang paling bawah akan kita menangkan suaranya unntuk Pak Jokowi,†kata dia.
JAKARTA (MaI.com/Tempo.co) Ide membuat Konferensi Asia-Afrika datang ketika Ali Sastroamidjojo menerima surat dari Perdana Menteri Sri Lanka John Kotelawala pada awal 1954. Kotelawala mengajak Perdana Menteri Ali, PM India Jawaharlal Nehru, PM Birma (kini Myanmar) U Nu, dan PM Pakistan Muhammad Ali bertemu untuk menurunkan ketegangan di Indocina (sekarang Vietnam).
Ali Sastroamidjojo menyebut lima perdana menteri ini sebagai "Panca Lima", yang nantinya menjadi penggagas Konferensi Asia-Afrika 1955. Namun jalan ke sana tidaklah mudah.
Waktu itu dunia tegang. Amerika Serikat berkonflik dengan Uni Soviet, yang populer disebut dengan "Perang Dingin". Semua negara terpecah antara mendukung Amerika atau Soviet, yang dikenal sebagai Blok Barat dan Timur.
Kotelawala mengusulkan lima perdana menteri itu bertemu di Kolombo, Sri Lanka. Ali Sastroamidjojo menyanggupi datang dengan tujuan menggagas kemungkinan pertemuan para kepala negara yang lebih besar.
Ali dan rombongan berangkat ke Kolombo pada 26 April 1954. Presiden Sukarno berpesan secara khusus kepada Ali agar memperjuangkan ide membuat konferensi yang lebih besar daripada pertemuan Kolombo. Sukarno punya rencana lebih besar, menyingkirkan setiap bentuk penjajahan. "Kalau mereka tak mau, biar kita sendiri yang menyelenggarakannya," kata Sukarno, seperti dikutip Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Roeslan Abdulgani dalam bukunya, The Bandung Connection.
Di Kolombo, meski empat perdana menteri lain berfokus pada penyelesaian konflik Cina dan Amerika Serikat yang berebut Vietnam, Ali menekankan pentingnya sebuah pertemuan besar semua negara Asia-Afrika jika ingin konflik itu berakhir. "Sebab, saya yakin bahwa soal-soal dunia tidak dihadapi oleh bangsa-bangsa Asia saja, melainkan bangsa-bangsa Afrika juga," kata Ali dalam bukunya, Tonggak-tonggak di Perjalananku.
Menurut Ali, ide itu disetujui para perdana menteri. Namun mereka menganggap ide itu sulit terealisasi. Alasannya, peserta yang banyak dengan beragam kepentingan akan sulit menentukan topik konferensi. Akan susah pula memilih peserta yang diundang karena sebagian negara Asia-Afrika terbelah akibat Perang Dingin.
Ali pantang mundur. Ia meyakinkan mereka bahwa pemerintah Indonesia sanggup mengerjakannya. "Atas saran Nehru, konferensi menyetujui untuk memberikan dukungan moril sepenuhnya kepada Indonesia," ujar Ali.
Seusai sidang Kolombo, Ali gencar melobi negara-negara Asia-Afrika sembari terus meyakinkan Nehru dan U Nu. Nehru bulat mendukung Ali dan bahkan mengatakan konferensi itu perlu dipercepat.
Di Jakarta Ali bergerak cepat. Ia mengirim undangan kepada para perdana menteri tadi untuk berkunjung ke Jakarta menyiapkan konferensi itu. Panca Lima bertemu di Bogor pada 28-29 September 1954.
Sidang Panca Lima menyepakati pemerintah Indonesia sebagai pengundang KAA dan panitia penyelenggara. Mereka membentuk pula sekretariat bersama beranggotakan duta besar keempat negara di Indonesia dengan ketua Roeslan Abdulgani.
Para peserta menyerahkan waktu pertemuan kepada pemerintah Indonesia. Setelah lobi kanan-kiri, Ali mendapat kepastian ada 25 kepala negara yang bersedia hadir. "Lalu saya memutuskan Bandung sebagai tempat konferensi," katanya.
Nama resmi pertemuan itu adalah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika. Para peserta, dalam percakapan di rapat-rapat cukup menyebutnya "Konferensi Bandung".
Konferensi itu digelar di Gedung Merdeka. Jumlah resmi peserta pertemuan itu 29 negara. Kelak, pada 1961, konferensi ini mengilhami Gerakan Non-Blok karena ketegangan Blok Barat dan Timur tak juga mereda. (TEMPO.CO)